Entri Populer

Jumat, 11 Maret 2011

pengaruh berat bibit awal yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kadar karagenan rumput laut (Kappaphycus alvarezii) varietas cokelat menggunakan metode vertikultur

I.       PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
       Indonesia merupakan Negara maritim karena hampir dua pertiga luas seluruh wilayahnya adalah lautan, yang hingga kini belum dieksploitasi secara maksimal, sehingga banyak potensi laut yang belum dimanfaatkan.  Salah satunya komoditi hasil laut yang berpotensi untuk dieksploitasi adalah rumput laut (seaweed).  Rumput laut mempunyai nilai ekonomis penting karena memiliki kandungan karaginan yang tinggi. Dalam dunia industri dan perdagangan karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat, karaginan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak et al. 1994).
       Potensi  perairan  laut  yang  dapat  dimanfaatan  untuk  pengembangan  usaha budidaya  laut  diperkirakan  mencapai  lebih  dari  10  juta   dan  seluas  1,85  juta Ha, diperuntukan  bagi  pengembangan  budidaya  rumput laut.  Salah  satu  komoditas rumput laut yang mempunyai nilai ekonomi penting dan budidayanya telah berkembang adalah  jenis  Kappaphycus  alvarezii  atau  dulu  lebih  dikenal  dengan  nama  Euchema  cottonii (Doty 1985 dalam Sulistijo 1996).
       Metode vertikultur adalah budidaya secara tegak lurus / tali gantung dengan tujuan untuk mengetahui perubahan kedalaman tali ris yang berbeda. Selain itu, agar jumlah populasi rumput laut per satuan semakin banyak dan salah satu upaya untuk mengoptimalisasi lahan.
       Bibit yang ditanam dipilih yang berkualitas. Kepadatan penanaman bibit  rumput laut tergantung dari jenis dan metode budidaya yang digunakan. Untuk budi daya Eucheuma sp./K. alvarezii., bobot bibit yang digunakan sekitar 50-100 g per ikatan dengan jarak tanam tidak kurang dari 25 cm. Pengikatan dapat dilakukan di darat atau langsung di laut. Apabila dilakukan pengikatan didarat, sebaiknya dilakukan di tempat yang teduh pada waktu pagi atau sore hari. Penanaman dilakukan segera setelah selesai pengikatan. Tujuannya agar bibit masih segar dan tidak lama terekspos didarat (Anggadiredja et al., 2006).
Menurut Muñoz, et al. (2004), ada tiga jenis rumput laut K. alvarezii yang berbeda berdasarkan warnanya yaitu merah, hijau dan cokelat. Tiga jenis rumput laut K. alvarezii ini dibudidayakan di Meksiko. Tingkat pertumbuhan dan kandungan karaginan dari tiga warna tersebut berbeda-beda. Rumput laut K. alvarezii warna hijau memiliki laju pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 8,1% per hari, warna coklat sebesar 7,1% per hari dan warna merah 6,5%, kemudian kadar karaginan tertinggi pada warna hijau sebesar 40,7%, warna coklat sebesar 37,5%, dan warna merah 32,7%.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi budidaya serta metode budidaya yang digunakan. Pertumbuhan rumput laut sangat ditentukan oleh kondisi ekologi perairan terutama kondisi dasar perairan budidaya.  Habitat perairan di lokasi budidaya rumput laut di desa Numana terdiri dari perairan dengan dasar berpasir, perairan dengan dasar berlamun dan perairan dengan dasar berkarang.
Bibit rumput laut yang baik memiliki ciri-ciri yaitu bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat bercak, tidak terkelupas, warna spesific cerah, umur 25 – 35 hari, berat bibit 50 – 100 g per rumpun. Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan (Sudjiharno, 2001).
       Berdasarkan  latar belakang di atas, sehingga penulis melakukan  penelitian  mengenai budidaya rumput laut  khususnya  jenis K. alvarezii varietas cokelat dengan melakukan perubahan berat awal bibit yang berbeda dengan menggunakan metode vertikultur dalam upaya  untuk mengetahui tingkat  pertumbuhan dan kualitas rumput laut berupa kadar keraginan secara optimal. 
I.       TINJAUAN PUSTAKA

A.    Klasifikasi dan Morfologi Rumput Laut
       (Yusuf, 2004) mengemukakan bahwa alga merah atau rumput laut K. alvarezii lebih dikenal dengan nama dagang Eucheuma cottonii. (Doty, 1988) dalam (Yusuf, 2004) mengklasifikasikan rumput laut (Kappaphycus alvarezii) sebagai  berikut :
           Divisio  :  Rhodophyta
                     Kelas  :  Rhodophyceae
                            Bangsa  :  Gigartinales
                                 Famili  :  Solieriaceaep
                                       Genus  :  Kappaphycus
                                          Spesies  :  Kappaphycus alvarezii (Doty, 1988)

Gambar 1. Morfologi Rumput Laut K. Alvarezii varietas cokelat
       Jenis K. alvarezii thallusnya berbentuk agak pipih dan bercabang-cabang kadang pola percabangannya teratur.  Jumlah percabangannya adalah dua (dicotome) atau tiga (tricotome), dan bentuk dari setiap ujung percabangannya ada yang runcing dan ada yang tumpul. Permukaan kulit luar agak kasar, karena mempunyai gerigi berbintil-bintil besar, warna thallus berkisar dari kuning kecoklatan hingga merah ungu  (Liviawati dan Afrianto, 1993).
       K. alvarezii mempunyai morfologi  thallus tegak lurus, silindris dengan dua sisi yang tidak sama lebarnya.  Terdapat tonjolan – tonjolan  (nodule)  dan duri (spine), thallus berbentuk silindris atau pipih, bercabang- cabang tidak teratur, berwarna hijau kemerahan bila hidup dan bila kering berwana kecoklatan  (Prihaningrum dkk,  2001).   
       Jenis K. alvarezii thallusnya berbentuk agak pipih dan bercabang-cabang kadang pola percabangannya teratur.  Jumlah percabangannya adalah dua (dicotome) atau tiga (tricotome), dan bentuk dari setiap ujung percabangannya ada yang runcing dan ada yang tumpul. Permukaan kulit luar agak kasar, karena mempunyai gerigi berbintil-bintil besar, warna thallus berkisar dari kuning kecoklatan hingga merah ungu  (Liviawati dan Afrianto, 1993).
       K. alvarezii mempunyai morfologi  thallus tegak lurus, silindris dengan dua sisi yang tidak sama lebarnya.  Terdapat tonjolan – tonjolan  (nodule)  dan duri (spine), thallus berbentuk silindris atau pipih, bercabang- cabang tidak teratur, berwarna hijau kemerahan bila hidup dan bila kering berwana kecoklatan  (Prihaningrum dkk,  2001).  
C. Pertumbuhan Rumput Laut
       Pertumbuhan adalah proses pertambahan panjang atau berat dari suatu organisme hidup selama selang waktu tertentu.  Penambahan biomassa rumput laut disebabkan adanya proses ini menyebabkan terjadinya persaingan diantara tanaman dalam memperoleh zat makanan, ruang gerak dan cahaya matahari (Darmayasa, 1988).
       Pertumbuhan rumput laut sangat di pengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti kualitas air, iklim, kecepatan arus, gelombang dan faktor-faktor biologis lainnya. Selain itu, faktor teknis juga sangat mempengaruhi produksi rumput laut. Pertumbuhan rumput laut akan lebih baik pada daerah yang pergerakan airnya cukup, karena pergerakan air ini dapat berfungsi memecah lapisan atas dan mengosongkan air dekat tanaman, sehingga menyebabkan meningkatnya proses difusi (Soegiarto, 1989). Selanjutnya Supit, (1989) mengemukakan bahwa pertumbuhan lama pemeliharaan akan menyebabkan persaingan antara thallus dalam hal kebutuhan cahaya matahari, zat hara dan ruang gerak sehingga tidak menguntungkan dalam budidaya.
       Pertumbuhan berbagai jenis alga multiseluler termasuk rumput laut dapat terjadi secara difusi atau menyeluruh atau terjadi pada bagian-bagian tertentu saja.  Pada pertumbuhan secara umum dan difusi, seluruh bagian dapat mengalami pembelahan sel, dimana sel pada bagian organisme tubuh tersebut mengalami peningkatan ukuran.  Pertumbuhan pada budidaya rumput laut, perbanyakan sel dapat terjadi pada bagian-bagian tertentu saja yakni pertumbuhan pada bagian ujung basal batang tengah.  Sudiharjo, (2001), menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan rumput laut tertinggi dapat terjadi pada umur 25-35 hari sedangkan berat bibit yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang baik berkisar antara 50-100 gram.  Proses pertumbuhan alga dapat pula berlangsung karena adanya peran aktif dari zat fitoplankton, yaitu zat organisme yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit, namun jumlah tersebut menentukan berlangsungnya suatu proses fisiologis (Dwiidjoseputro, 1994 dalam Yusuf, 2004).
       Rumput laut dapat tumbuh  dan berkembang dengan batang vegetatif. Umumnya tumbuh di daerah intertidal (daerah pasang surut) atau pada daerah sub litoral, melekat pada substrat batu di dasar perairan (Sulistidjo, 1985). Selanjutnya Atmadja, (1999) dalam Rasdjid, dkk., (2000) menyatakan bahwa rumput laut dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada daerah pantai terumbu (reef), karena tempat ini memenuhi beberapa persyaratan untuk pertumbuhan yaitu faktor kedalaman, percahayaan, substrat dan fisika air.
       Pengetahuan tentang pola pertumbuhan musiman dan kadar karaginan dapat membantu dalam perencanaan suatu siklus produktif. Karena priode pertumbuhan yang rendah dapat dikompensasikan dengan kadar karaginan yang lebih tinggi. Kemampuan untuk mengurangi penurunan pertumbuhan musiman merupakan langkah penting didalam menghasilkan laju pertumbuhan sepanjang tahun dan kadar karaginan yang tinggi (Ask and Azanza, 2001).
       Pertumbuhan rumput laut akan lebih baik pada daerah yang pergerakan airnya cukup, karena pergerakan air ini dapat berfungsi memecah lapisan atas dan mengosongkan air dekat tanaman, sehingga menyebabkan meningkatnya proses difusi (Soegiarto  dkk., 1989).
D. Varietas Cokelat
       Alga cokelat merupakan alga yang berukuran besar, bahkan ada yang membentuk padang alga dilaut lepas. Tumbuhan ini membentuk hutan lebat. Diantara daun di permukaan laut, hidup beribu-ribu ikan neritik yang mendapatkan makanan dari alga ini dan menjadikan hutan alga ini sebagai tempat berlindung dari musuh-musuhnya (Kordi dan Ghufran, 2010)
       Beberapa alga cokelat menunjukan alih generasih yang isomorfik. Penting untuk dicatat bahwa suatu konservasi zoospora mungkin dapat dilakukan oleh Nereocystis, konservasi zoospora mungkin dapat dilakukan oleh Nereocystis, yakni dengan kebiasaannya menyebarkan sorus matang yang lengkap, yang ketika tenggelam didasar padang alga memungkinkan menemukan substrat yang cocok (Kordi dan Ghufran, 2010)
       Dalam kelompok alga cokelat, seperti fucus dan Sargassum, tumbuh-tumbuhan utamanya adalah sporofit. Di dalam ribuan konseptakel (conceptackel) berbentuk cawan yang sangat kecil yang membentuk kantun-kantung udara (bladders), gamet terbentuk seperti spora. Spora-spora ini bersatu setelah disebarkan bebas ke air. Jadi, pengganti generasi hanya nyata secara sitologi (Romimohtarto dan juwana, 2001).
       Rumput laut coklat memiliki pigmen santotif yang memberikan warna coklat dan dapat menghasilkan algin atau alginat, laminarin, selulosa, fikoidin dan manitol yang komposisinya sangat tergantung pada jenis (spesies), masa perkembangan dan kondisi tempat tumbuhnya (Alief dan Dewi, 2007).
       Rumput laut coklat yang potensial untuk digunakan sebagai sumber penghasil alginat diantaranya adalah jenis Makrocystis, Turbinaria, Padina dan sargassum sp. Kandungan alginat pada rumput laut coklat tergantung musim, tempat tumbuh, umur panen dan jenis rumput laut ( Prasetyaningrum dan Purbasari, 2002).
       Ganggang cokelat lebih dikenal sebagai rumput karang atau rockweed, sering dimanfaatkan untuk industri alginat, sedangkan ganggang merah merupakan sumber bahan baku bagi industri agar-agar, carragenan dan fulcellaran serta produk-produk lainnya. Rumput laut atau seaweed merupakan bagian terbesar dari rumput laut yang tumbuh melekat erat pada substrat pada yang terdapat di lautan seperti batu-batuan, karang dan bangkai kulit karang (Alief dan Dewi, 2007).
E. Berat bibit awal
       Kriteria bibit rumput laut yang baik adalah bercabang banyak dan daun rimbun,  tidak terdapat bercak dan terkelupas,  warna spesifik (cerah),  umur 25-35 hari,  berat bibit 50-100 g  (Sudjiharno, 2001). Menurut Neish (2005) Umumnya semakin besar bibit semakin banyak hasil panen. Batasan praktis ukuran bibit tergantung kepada kondisi lokal.
       Pemahaman masyarakat bahwa semakin banyak berat bibit yang ditanam, maka semakin banyak hasil yang diperoleh dan semakin cepat untuk dipanen.  Namun  pada  kenyataannya,  semakin  sedikit  berat  bibit  yang  ditanam,  maka semakin cepat laju pertumbuhannya, sehingga bibit yang diperlukan tidak begitu banyak dan menghasilkan  panen  yang  banyak (Hamid,  2009).
       Sementara itu perlu dikaji pengaruh pertumbuhan rumput laut dalam mereduksi gelombang mengingat pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma cottonii tergolong relatif cepat yaitu pada usia mulai tanam dengan berat bibit awal 100 –150 g, panjang bibit awal ± 10 –15 cm dapat dipanen pada hari ke 45 dengan berat panen per koloni 600 g, panjang satu koloni/ikatan rata-rata 100 –115 cm (Hamid,  2009).
 F. Kualitas Rumput Laut
-       Karaginan
       Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstrak dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Karaginan merupakan suatu senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester, kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat, dengan galaktosa dan 3,6 anhydrogalakto copolimer (Winarno, 1996).
       Fungsi karaginan sangat penting peranannya sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan), pembentukan gel, pengemulsi, dan lain-lain.  Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno, 1996).
       Karaginan berdasarkan unit penyusunnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kappa-karaginan, iota-karaginan, lambda-karagen, mu-karagenan, dan nu-karaginan.  Dari lima kelompok tersebut hanya tiga yang memiliki nilai ekonomis yaitu kappa, iota dan lambda karaginan (Towle, 1973 dalam Indra, 2004).
       Kappaphycus alvarezii (Doty, 1988) dalam (Yusuf, 2004) adalah tergolong tanaman alga merah yang banyak tersebar di perairan tropis, dapat menghasilkan ekstrak karaginan (suatu nama komersil untuk polimer gelatin alamiah yang mengandung kelompok karbohidrat dan sulfat).  Nilai ekonomis rumput laut ini tergantung pada kandungan karaginan yang dimilikinya.
       Menurut (Zatnika dan Istini, 2006) karagenan biasanya diproduksi dalam bentuk garam Na, K dan Ca yang dibedakan dua macam yaitu kappa karaginan dan iota karaginan yang berasal dari Eucheuma cottonii dan Eucheuma striatum.
G.  Parameter Kualitas Air
1.    Faktor Fisik
a.        Suhu
       Suhu air laut cenderung menurun dari suatu permukaan perairan sampai dasar perairan.  Penampakan suhu di perairan tropis dan subtropis ditentukan oleh gradien suhu yang kecil sehingga mencapai kedalaman tertentu (Nontji, 1993).
       Rumput laut tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan yang memiliki kisaran suhu 260C-330C, suhu perairan juga mempengaruhi laju fotosintesis (Afrianto dan Liviawaty, 1993).  Menurut Sadhori, (1992), secara alami jenis rumput laut jenis (K.alvarezii) dapat tumbuh dengan baik pada suhu air yang berkisar antara 250C – 27 0C.
       Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses kehidupan dan penyebaran organisme.  Proses kehidupan yang fital, yang cara kolektif disebut metabolisme hanya berfungsi dalam kisaran suhu biasanya antara 0-40 oC, walaupun ada juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas dan sedikit di bawah (Nybakken, 1992).
       Ada beberapa jenis alga yang perkembangan stadia produksinya tergantung pada kondisi suhu dan intensitas cahaya atau pada kombinasi diantara parameter tersebut, misalnya perkembangan tetra spora polysiphonia  berlangsung baik pada suhu antara 25-30 oC, tetapi terhambat pada kombinasi rendah intensitas cahaya tinggi (Aslan, 1997).
       Nilai suhu perairan yang optimum untuk laju fotosintesis berbeda pada tiap jenis, misalnya laju fotosintesis E. isiform dan E.gelidium masing-masing mencapai nilai optimum pada suhu 210C - 240C.  Perkembangan stadia reproduksi beberapa jenis rumput laut bergantung pada suhu dan intensitas cahaya atau pada kombinasi kedua parameter tersebut (Kadi dan Wanda, 1998).
b.   Kecerahan
       Perairan yang dimanfaatkan dalam budidaya rumput laut haruslah jernih sepanjang tahun, terhindar dari pengaruh sedimentasi atau intrusi air sungai.  Tingkat kejernihan air diukur dengan kecerahan yang mencapai kedalaman lima meter atau lebih (Sulistijo dan Atmadja, 1992 dalam Yusuf, 2004).
       Air yang keruh biasanya mengandung lumpur yang dapat menghalangi tembusnya cahaya kedalam air sehingga akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya.  Lokasi yang baik untuk budidaya rumput laut memiliki kecerahan lebih dari 1,5 m pada pengukuran dengan alat secchi disk (Sudjiharno  dkk., 2001).
       Kecerahan air untuk budidaya rumput laut tidak kurang dari 5 m dengan jarak pandang secara horizontal, untuk lokasi budidaya nilai kecerahan (transparansi) yang ideal adalah sekitar 1,5 m (Zatnika dan Wisman, 2006).
c.    Arus
       Produktivitas rumput laut tampak berpengaruh pada arus 0,5 m/detik.  Hal tersebut dapat dilihat pada organisme yang memanfaatkan rumput laut sebagai tempat untuk mencari makan seperti mollusca, ikan dan crustacea (Dahuri dkk., 1996).
       Arus atau pergerakan air diperlukan oleh rumput laut untuk pertumbuhannya, karena arus akan membawa zat-zat makanan sekaligus menghanyutkan kotoran-kotoran yang melekat pada tubuhnya.  Kecepatan arus yang baik dan ideal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 50 cm/detik (Hidayat, 1980 dalam Prihaningrum dkk., 2001).
       Kebanyakan spora alga bersifat plankton sehingga gerakan dan sebarannya dipengaruhi pola dan sifat gerakan air. Selain itu kekuatan gerakan air mempengaruhi melekatnya spora pada substratnya.  Alga atau rumput laut yang tumbuh diperairan yang selalu berombak dan berarus akan mempengaruhi sifat dan karakteristik spora yang berbeda dengan alga yang berada diperairan tenang (Aslan, 1997).
d.   Pasang Surut
       Pasang surut sangatlah berpengaruh terhadap tempat hidup tanaman rumput laut.  Pengaruh terbesar ialah terjadinya surut terendah dimana jika hal tersebut terjadi dapat menyebabkan rumput laut mengalami kekeringan. Pengaruh ini dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tanaman sehingga tanaman akan mengalami kematian (Aditya dkk., 2001).
       Kedalaman pada lokasi penelitian diukur pada saat pasang tertinggi dan surut terendah selama penelitian 20-25 m, inin cukup mendukung untuk budidaya rumput laut Setiadi dan Budiharjo (2000) mengemukakan bahwa dalam budidaya rumput laut kedalaman air berkisar 30-50 cm pada surut terendah, dengan demikian rumput laut tidak mengalami kekeringan karena sinar matahari langsung dan masih memperoleh penetrasi sinar matahari pada waktu pasang.
e.     Kedalaman
       Dalam budidaya rumput laut, kedalaman air berkisar 30 - 60 cm pada surut terendah pada kedalaman antara 0 -30 cm dan 60 – 200 cm, pertumbuhan rumput laut masih berlangsung cukup baik (Sulistiko et al, 1996 dalam Yusuf, 2004).
       Hal ini sependapat dengan (Yulianto et al, 1990 dalam Yusuf, 2004), menyatakan bahwa factor kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu secara vertikal, penetrasi cahaya matahari, densitas, kandungan oksigen dan unsur-unsur hara.
       Dalam budidaya rumput laut, kedalaman air berkisar 30 - 60 cm pada surut terendah pada kedalaman antara 0 -30 cm dan 60 – 200 cm, pertumbuhan rumput laut masih berlangsung cukup baik (Sulistiko et al, 1996 dalam Yusuf, 2004). Hal ini sependapat dengan Yulianto et al, (1990) dalam Yusuf, (2004), menyatakan bahwa factor kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu secara vertikal, penetrasi cahaya matahari, densitas, kandungan oksigen dan unsur-unsur hara.
2.      Faktor Kimia
a.     Salinitas
       Mubarak dkk., (1904) menyatakan bahwa salinitas yang baik untuk pertumbuhan rumput laut K. alvarezii adalah 28-35 ppt, sedangkan menurut Zatnika dan Wisman, (2006), salinitas yang baik untuk budidaya rumput laut jenis K.  alvarezii yaitu antara 28-34  ppt dengan salinitas optimum 33 ppt.
       Pertumbuhan rumput laut di pengaruhi juga oleh salinitas atau kadar garam dan temperatur. Ada dua golongan rumput laut berdasarkan kisaran salinitas: stenohalin, hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran salinitas yang sempit, dan euryhalin, hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran salinitas yang lebar. Suhu yang terbaik untuk pertumbuhan rumput laut antara 20-28oC (Indriani dan Sumiarsih, 2003). Kesuburan rumput laut juga di pengaruhi oleh salinitas, kisaran salinitas yang layak bagi pertumbuhan rumput laut adalah 33-35 ppt dengan optimal 33 permil (Sadhori, 1992)
       Perubahan salinitas pada habitat rumput laut akan menyebabkan turgor antara bagian dalam dan luar dinding sel rumput laut.  Hal ini disebabkan oleh tinggi rendahnya salinitas yakni pada keadaan hiperosmotik dan hipoosmotik.  Selain itu penurunan dan peningkatan salinitas diatas batas optimum tidak menyebabkan kematian, tetapi mengakibatkan rumput laut kurang elastis, mudah patah dan pertumbuhannya akan terhambat (Darmayasa, 1988 dalam Ahmad, 2006).
b.    Derajat Keasaman (pH )
       Kisaran pH yang baik untuk budidaya rumput laut yaitu berkisar 8-9.  Nilai optimal diharapkan pada kisaran antara 7,5-8,0 (Zatnika dan Wisman, 2006).
       Fluktuasi pH dalam air biasannya berkaitan erat dengan aktifitas fitoplankton dan tanaman air lainnya dalam menggunakan CO2 dalam air selama berlangsungnya proses fotosintesis. Pada siang hari, biasannya pH air cenderung meningkat dan kosentrasi CO2 (Doty, 1988 dalam Yusuf, 2004). pH yang baik untuk lokasi budidaya rumput laut jenis Echuema cottonii yaitu berkisar antara 7,3-8,2 (Indriani dan Sumiarsih, 2003).
c.     Nitrat (N03)  dan Fosfat (PO4)
       Nitrat merupakan komponen zat hara yang penting untuk pertumbuhan rumput laut.  Nitrogen adalah salah satu nutrient yang diperlukan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis.  Fluktuasi distribusi nitrat di laut tergantung pada musim.
       Diperairan lepas pantai daerah lintang sedang, konsentrasi akan turun dalam musim panas  akibat dari aktivitas fotosintesis tinggi, tetapi dalam waktu yang sama disertai oleh menaiknya konsentrasi nitrat  karena membusuknya zat-zat organik.  Dalam musim dingin terjadi pendinginan/pembekuan di lapisan permukaan dan pengadukan oleh angin, mengakibatkan pergerakan strafikasi air dan konsentrasi nitrat yang  tinggi (Birowo, 1991).
       Nitrat merupakan sumber nitrogen yang terbaik untuk pertumbuhan rumput laut. Kombinasi nitrogen dan fosfat yang berbanding 5 : 1 adalah optimum untuk pertumbuhan Eucheuma. Sama halnya dengan nitrat, fosfat merupakan komponen penting untuk pertumbuhan rumput laut (Supit, 1989).
       Kesuburan rumput laut di pengaruhi oleh kandungan nitrat dan fosfat. Kisaran nilai kandungan nitrat dan fosfat yang layak bagi kesuburan rumput laut ialah 0,1-3,5 ppm dan 1,0-3,5 ppm (Doty 1988 dalam Yusuf,  2004).
       Fosfat merupakan unsure esensial berasal dari pencemaran industri, anyutan air pupuk, limbah domestic, hancuran bahan organic dan mineral-mineral fosfor, sehingga unsure hara menjadi komponen penting bagi pertumbuhan rumput laut adalah nitrat (NO3) dan fosfat ((PO4) tanaman (Supit, 1989).
d.    Standard Mutu Karagenan
       Spesifikasi mutu karaginan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar Mutu Karagenan
Spesifikasi
FAO
FCC
EEC
Zat volatil (%)
Sulfat (%)
Kadar abu (%)
Viskositas (cP)
Kadar Abu Tidak Larut Asam (%)
Logam Berat :
      Pb (ppm)
      As (ppm)
      Cu (ppm)
      Zn (ppm)
Kehilangan karena pengeringan (%)
Maks. 12
15 – 40
15 - 40
Min 5
Maks. 1

Maks. 10
Maks. 3
-
-
Maks. 12
Maks 12
18 – 40
Maks. 35
-
Maks. 1

Maks. 10
Maks. 3
-
-
Maks. 12
Maks. 12
15 – 40
15 – 40
-
Maks. 2

Maks. 10
Maks. 3
Maks. 50
Maks 25
-
 Sumber : A/S Kobenhvns Pektifabrik (1978)

III. METODE PENELITIAN
A.      Waktu dan Tempat
       Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 bulan lebih yaitu pada Tanggal 2 Januari 2011 sampai tanggal 16 Februari 2011. Penelitian ini dilaksanakan di perairan pantai Desa Toli-toli Kecematan Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupatan Konawe Sulawesi Tenggara dan analisis kualitas air dilaksanakan di Laboratorium Unit Nutrisi Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo.
Analisis kandungan karaginan rumput laut dilakukan pada hari Sabtu tanggal 18 sampai hari Kamis tanggal 23 Desember 2010 di Laboratorium Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo, Kendari.
B.  Alat dan Bahan
1.  Alat di Lapangan
       Alat-alat yang digunakan di lapangan pada penelitian ini yaitu: termometer,pH meter, hand-refraktometer, Sechi disk, perahu, bola-bola kecil sebagai pelampung, tali polythilen (nilon/ris), meteran, pembungkus pelastik, batu-batu kecil dengan berat 50 gr, dan jangkar beton.
1.    Bahan di Lapangan
       Bahan yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah: Rumput laut K. alvarezii varietas coklat dari petani  budidaya rumput laut, desa Toli-Toli, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe.
3.   Alat di Laboratorium  
       Alat yang digunakan dalam penelitian di laboratorium untuk analisis karaginan adalah yaitu: Gelas kimia, kertas penyaring (whatman), timbangan analitik Ohaus (Ketelitian 0,001 g), waskom, stopwatch, kompor gas, labu erlenmeyer (Iwaki Pyrex 250 ml), pipet tetes biasa (1 tetes 0,2 ml), desikator, labu erlemeyer, gelas piala, pengaduk, saringan, spatula, kertas saring corong, pipet thermometer, alat pemanas, belender, autoclave, tabung reaksi, rak tabung, spektrofotometer.
4.   Bahan di Laboratorium
       Bahan yang digunakan dalam penelitian di laboratorium adalah : aquades alkohol, 2-propanol dan air panas, brucin sulfanilie, H2SO4, NaCl, ammonium monovanadat, asam nitrat, ammonium molibdat.
C.  Prosedur Penelitian
1.  Persiapan Bibit
       Bibit diambil dari hasil panen petani rumput laut yang telah ditanam selama 45 hari di Desa Toli-toli, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Bibit yang digunakan adalah khusus varietas cokelat dengan jumlah rumpun laut yang dibutuhkan dalam 1 tali gantung 135 ikatan, dengan 3 rumpun dan berat bibit awal masing-masing 50 g, 100 g dan 150 g. Bibit rumput laut yang sudah disiapkan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran atau organisme penempel.  Kondisi rumput laut yang dipilih adalah yang muda, segar, bersih serta bebas dari jenis rumput laut lainnya.
1.    Metode Penanaman :
a.    Perlakuan yang diuji cobakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 perlakuan dengan 3 kali ulangan: yaitu Penanaman rumput laut pada metode vertikultur dengan berat bibit awal 50 g (Perlakuan A), penanaman rumput laut pada metode vertikultur dengan berat bibit awal 100 g  (Perlakuan B), kemudian penanaman rumput laut pada metode vertikultur dengan berat bibit awal 150 g (Perlakuan C).
b.   Dalam 1 tali ris diikat sebanyak 3 bibit dengan berat masing-masing bibit 50 g, 100 g, dan 150 g, dengan jarak antara rumpun 30 cm dengan umur panen 45 hari (Neish, 2005). Secara deskripsi konstruksi metode vertikultur disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut :

  
DAFTAR PUSTAKA
Aditya,  T.W. ,   P. Yuwan dan Sudjiharno,  2001,  Pemilihan Lokasi  Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus  alvarezii).  Petunjuk Teknis Departemen       Kelautan dan Perikanan.  Direktorat Jenderal Perikana Budidaya.  Hlm 16-22.
Afrianto,  E  dan  E.  Liviawaty,1993.  Budidaya Laut dan Cara Pengolahannya.  Bharata.  Jakarta. 60-64 hal.
Alief Angga Prasetya, Dewi Ratih Handayaningrum, (2007),  “Modifikasi Proses Pembuatan Alginat Dari   Rumput Laut Coklat Dan Aplikasinya Sebagai Bahan Pengawet Makanan Alami”, Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang.
Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwanto,H., dan Istini,S., 2006. Rumput Laut (Pembudidayaan, pengolahan, dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial). Penebar Swadaya. Jakarta
Ask E.L., Azanza R.V. 2002. Advances in cultivation technology of commercial eucheumatoid species, a review with suggestions for future research. Aquakultur. 206: 257-277.
Aslan, L. M., 1997. Budidaya Rumput Laut. Edisi Revisi. Kanisius. Yogyakarta.
A/S Kobenhvns Pektifabrik. 1978. Carrageenan. Lilleskensved. Denmark. p156-157.
Birowo S. 1991. Sifat Oseanografi Permukaaan Laut. Di dalam: Kondisi Lingkungan Pesisir dan Laut di Indonesa. Proyek Penelitian Masalah Pengemangan Sumberdaya Laut dan Pencemaran Laut. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LON-LIPI). hlm 1-96.
Dahuri, R. J., Rais, S.P., Ginting dan M.J. Sitepu., 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita.  Jakarta. 58-65 hlm.
Darmayasa,  I.  G.P.,  1988.  Studi Perbandingan Laju Pertumbuhan Algae Merah Eucheuma spinosum (L).J. Pada Kedalaman yang Berbeda di Nusa Dua Bali. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. http://www. Iptek.net.id//ttg/artlkp/artikel. 15 hlm.
Dawes, C.J Lluis, A.O., Trono, G.C., 1994. Laboratory and field growth studies of commercial stains of Eucheuma denticulatus and Kappaphycus alvarezii in the Philippines. J. Appl. Phycol. 6, 21 – 24.
Effendi. 1979.  Biologi Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fortes, E.T.G.  1981.  Introduction to the Seaweed; Their Characteristic and Economic Importance.  Rep. In Training Course on Gracilaria Algae. Up South China Sea Project, Manila Philiphines.
Gaspersz .V., 1994., Metode Perancangan Percobaan ; Untuk Ilmu – Ilmu Pertanian,  Ilum – Ilmu Tekhnik dan Biologi. CV. Armico. Bandung.    hlm 8-13.
Ghufran, H., Kordi, K., 2010. Budidaya Biota Akuatik Untuk Pangan, Kosmetik, dan obat-obatan . PT. Andi Offset. Yogyakarta. Hlm 78-79.
Hamid, Abdul. 2009. Pengaruh Berat Bibit Awal Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Terhadap Laju Pertumbuhan. Skripsi, Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN).
Indriani, H., Sumiarsih, E., 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput laut. Anggota Ikapi. PT. Penebar swadaya. Jakarta. Hlm 45-65.
Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut Jenis Algae. Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta: Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 101 hlm.
Mubarak, H.S., Ilyas, N. Ismail, I.  Wahyuni, S.T., Hartati E., Pratiwi Z., Jangkarru           dan R. Arifuddin., 1994. Petunjuk Tekhnis Budidaya Rumput Laut.      PusatPenelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian             Pengembangan Pertanian  Departemen Pertanian. Jakarta.
Muñoz, J., Freile-Pelegrin, Y., Robledo, D., 2004. Mariculture of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) color strains in tropical waters of Yucatan, Mėxico. Aquaculture 239: 161-171.
Nirhono.  2009.  Budidaya Rumput Laut. http://www.nirhono.co.tv.  Diakses Tanggal 26 September 2101. Pukul  21:07
Nontji, 1993.  Laut Nusantara.  Djambatan.  Jakarta. Hlm 78-80.
Nybakken, A.j., 1992. Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan M.Edman; D. Bingen; Koesobiono) PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. Hlm 20-25.
Poncomulyo. T., Maryani.H., Kristiani. L., 2006. Budidaya dan Pengelolaan Rumput Laut. PT. Agromedia Pustaka. Surabaya.       
Prasetyaningrum A. dan A. purbasari, (2002), ”  Ekstraksi Alginat dari Rumput Laut dan Aplikasinya pada Industri ”, vol. 6, No. 2, Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang.
Prihanigrum, A., M. Meiyana dan Evalawati. Tahun 2001, Biologi Rmput laut; Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii). Petunjuk Tekhnis. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut. Lampung.
Rasjid, F., M. Firdaus., S. Pudu., Dahya., Idris., Herman dan Subandi., 2000. Budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) Dengan Sistem Rakit Cara Tanam Legowo 6. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Kendari. Hlm 5-6.
Sadhori, S.N. 1992. Budidaya Rumput Laut. Balai Pustaka. Jakarta. 110 hlm.
Setiadi. A dan  U. Budihardjo,  2000.  Rumput Laut Komoditas Unggulan.  Grasindo Jakarta.  Hlm 33-35.
Soegiarto. A., Sulistijo., Atmadja dan H. Mubarak., 1978. Rumput Laut (Algae), Manfaat, Potensi dan Usaha Budidaya. LON, LIPI, Jakarta. Hlm 83.
Sudjiharno,  2001.  Teknologi Budidaya Rumput Laut.  Balai Budidaya Laut.  Lampung.
Sulistijo, 1985. Budidaya Rumput laut. LON.LIPI. Jakarta. Hlm 23-24.
Supit D.S. 1989. Karakterisitik Pertumbuhan dan Kandungan Rumput Laut Eucheuma cotinii (Doty) yang Berwarna Abu-abu, Coklat dan Hijau yang ditanam di Coba Lapangan Pasir Pulau Pari. (Skripsi) Institute Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 15-18.
Winarno, F.G., 1996.  Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar  Harapan Jakarta. hlm 99-100.
Yunizal, Murtini JT, Utomo BS, Suryaningrum TH. 2000. Teknologi Pemanfaatan Rumput Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekplorasi Laut dan Perikanan. hlm 1-11.
Yusuf  M.I.  2004.   Produksi, Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty (1988) yang Dibudidayakan Dengan Sistem Air Media dan Tallus Benih Yang Berbeda.  (Disertasi)  Program Pasca Sarjana  Universitas Hasanudin, Makassar. Hlm 13-15.
Zatnika A, Angkasa W.I., 2006. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makala Pada Seminar Pekan Aquakulture V. Tim Rumput Laut BPP Teknologi Jakarta, Jakarta Http: //www.fao.org/docrep/field/003/AB882E/AB882E/Artikel. Diakses tanggal 7 januari 2008. Hlm 15




















             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar